jump to navigation

“Kudeta Merangkak” dan Gerakan Islam di Indonesia June 29, 2006

Posted by Dicky in Reflection.
trackback

Kira-kira 3 hari yang lalu, seorang kawan mengirimkan sebuah pertanyaan ke email saya mengenai apakah saya setuju akan “kudeta merangkak” yang dilakukan oleh gerakan-gerakan Islam radikal di Indonesia untuk mengganti Pancasila dengan syariat Islam. Saya berpikir bahwa topik pertanyaan seperti ini sangat sayang untuk dibiarkan berlalu begitu saja tanpa kita ikut serta di dalam proses dialektikanya. Kemudian, saya berniat untuk merancang sebuah tulisan yang cukup representatif, yang isinya kurang lebih menanggapi pertanyaan dari teman tercinta saya tersebut.

Sebelumnya, budaya diskusi dan saling melempar isu di kantor tempat saya bekerja dapat dibilang telah menjadi “obat penawar” bagi kakunya struktur birokrasi kantor yang dapat dibilang cukup konservatif, dan dibalut oleh kepentingan kapitalistik yang sangat tinggi. Diskusi-diskusi iseng dan saling melempar topik bisa dibilang dapat menjadi momentum penyadar kami agar tidak terlalu larut dalam skema reifikasi yang disodorkan oleh pihak manajemen. Kita tidak ingin dituding oleh Herbert Marcuse sebagai salah satu bagian dari “One Dimensional Man”.

Lalu, muncullah tulisan “pledoi” saya tersebut. Bukan sebagai sebuah bentuk pembelaan terhadap apa yang dikatakan oleh rekan saya mengenai gerakan Islam radikal dan pola “kudeta merangkak”, akan tetapi lebih kepada sebagai sebuah usaha kecil untuk meluruskan opini publik yang selama ini muncul di masyarakat Indonesia mengenai gerakan Islam radikal dan keinginannya untuk mengubah Pancasila menjadi syariat Islam. Saya berpegang bahwa kalau kita memang mampu mengubah sesuatu dengan tangan kita, itu alangkah lebih baiknya dibandingkan hanya berdoa.

Pertama, saya merasa berkewajiban untuk meluruskan terminologi “kudeta merangkak” tersebut. Di dalam berbagai literatur studi ilmu sosial dan politik, terminologi kudeta dapat diartikan sebagai sebuah usaha untuk menggantikan pemerintahan yang berkuasa dengan cara-cara kekerasan dan cenderung menggunakan kekuatan militer. Yang paling menarik perhatian saya adalah digolongkannya gerakan tarbiyah ke dalam salah satu golongan yang “dicurigai” akan melaksanakan proses “kudeta merangkak” tersebut. Di sinilah kegatelan saya muncul.

Lepas dari itu semua, saya melihat bahwa sepertinya tidak cukup arif untuk mengkategorikan suatu kelompok ke dalam terminologi kata yang memiliki ekses negatif bagi benak pembacanya. Pemberian cap “kudeta merangkak”, atau “gerakan Islam radikal” sepertinya tidak cukup adil untuk dipasangkan kepada kelompok-kelompok tertentu tanpa kita tahu apa alasan mereka muncul, mengapa mereka muncul, apa penyebab dari sistem pergerakan mereka yang cenderung bersifat bawah tanah, dan sebagainya. Saya selalu berusaha untuk memandang fenomena ini dalam kacamata “one man’s terrorist is another man’s freedom fighter”. Pasti selalu ada alasan di belakangnya, dan kita tidak boleh membiarkan alasan itu berlalu begitu saja.

Dalam tulisan saya tersebut, saya hanya mencoba untuk menjelaskan dari sudut pandang gerakan tarbiyah saja, karena saya merasa untuk menjelaskan mengenai pola-pola harakah dari saudara-saudara di MMI, HTI dan FPI sudah menjadi kewajiban masing-masing dari kadernya. Saya takut nanti penjelasan mengenai masing-masing pergerakan tersebut tidak “mengena” ke dalam esensi dari gerakan tersebut. Dalam konteks sistem gerakan tarbiyah, sepertinya terminologi “kudeta merangkak” tidak cukup representatif untuk menggambarkan pola pergerakan tersebut. Mengapa? karena proses metamorfosa gerakan tarbiyah menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi sebuah afirmasi dari tunduknya sistem gerakan ini kepada mekanisme transisi kekuasaan di Indonesia, yaitu Pemilihan Umum, tidak lebih.

Namun, yang menjadi permasalahan bagi sebagian masyarakat Indoensia adalah apakah syariat Islam itu akan diterapkan di Indonesia atau tidak, karena ditakutkan akan tidak sesuai dengan kultur dan kondisi kehidupan bangsa kita yang beragam. Saya menjadi teringat akan sebuah wawancara singkat saya kepada salah satu calon anggota legislatif dari PKS pada masa Pemilu 2004 lalu. Sebuah wawancara non-formal untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Politik Indonesia di tempat saya berkuliah. Caleg yang saya wawancarai itu saat ini menjadi salah satu anggota dewan yang berasal dari PKS, jadi nampaknya pendapat beliau mengenai syariat Islam ini cukup representatif untuk menjawab pertanyaan kawan saya.

Beliau mengatakan bahwa syariat Islam tidak serta-merta akan ditegakkan tanpa tedeng aling-aling begitu saja. Terdapat beberapa tahapan pembinaan masyarakat yang harus dilalui agar penerapan syariat Islam itu dapat terlaksana dengan sempurna. Dalam hal keragaman kehidupan agama, beliau memberikan acuan Piagam Madinah bentuk yang ideal untuk menjaga adanya keragaman tersebut. Agama selain Islam bukan saja akan diakui keberadaannya, namun juga akan dilindungi sepenuhnya dari segala bentuk diskriminasi yang dilakukah oleh kelompok agama atau ideologi lain. Sepertinya sangat sesuai dengan konsep Human Security yang saat ini sedang tenar dibicarakan oleh para akademisi ilmu-ilmu sosial dan politik.

Pendapat ini menjadi acuan bagi saya untuk memberikan sebuah warna dari proses dialektika yang muncul dari pertanyaan kawan saya tersebut. Saya optimis berharap, semoga setitik kecil noktah tulisan ini dapat menjadi warna dari berbagai pertarungan ide mengenai fenomena pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Selain sebagai proses emansipasi terhadap kemajuan pemikiran manusia, tulisan ini juga dapat berperan sebagai sebuah “kudeta merangkak” dalam memajukan pola pikir bangsa, khususnya dalam mengambil hikmah dari setiap peristiwa yang dikaruniakanNYA kepada kita.

Ciracas, 12 Juni 2006.

Comments»

1. yandi - July 18, 2006

bentuk tulisannya sangat komunikatif mas…. bagus banget…..
saya setuju syariat ditegakkan di daerah masing-masing asal tidak bertentangan dengan sistem otonomi daerah yang telah ada…. namun perda-perda syariat harus lebih menyentuh akar permasalahan yang ada di masyarakat kita, misalnya tentang keadilan distribusi kekayaan, perbaikan fasilitas sarana pendidikan, mengurangi tingkat kemiskinan dengan membuka lapangan kerja, lingkungan dan lain sebagaianya…. sebagaimana konsep human security itu sendiri agar masyarakat terbebas dari rasa takut dan kekurangan…….thx

2. Dicky - July 19, 2006

Thanks Yandi. Saya sangat setuju dan juga mempunyai pikiran yang sama dengan ente. Kita memang tidak dapat memungkiri bahwa sampai saat ini, konsep penerapan syari’at Islam itu sendiri belum menyentuh arena-arena yang sebenarnya sangat krusial untuk kehidupan masyarakat, seperti the need of food, economy, security, health and identity. Tentu ini merupakan proses yang cukup evolusioner, karena membutuhkan rentang waktu yang cukup untuk mengkonstruksi seluruhnya itu.

Mungkin dalam pandangan saya, konsep penerapan syari’at Islam itu sendiri saat itu masih menimbulkan efek ‘phobia’ bagi masyarakat. Kalau dijelaskan agak panjang, mungkin malah bisa jadi satu postingan tersendiri tentang bagaimana rasa ‘phobia’ itu sendiri muncul dan mengapa resistensi simultan itu bisa timbul di masyarakat. Tapi saya sangat sepakat dengan apa yang ente sampaikan, Bung Yandi. Peraturan syari’at itu harus lebih menyentuh sektor-sektor yang memang sangat diperlukan oleh masyarakat saat ini. Mungkin untuk primernya ke sektor pengentasan kemiskinan dan distribusi kekayaan. Contoh impelementasinya adalah sistem zakat fitrah, yang mengharuskan ‘si berlebih’ memberikan sebagian hartanya ke ‘yang kekurangan’. Kalo dipikir-pikir, jadinya kayak sistem Sosialis ya. hehe.

Menurut saya fokus terhadap dua sektor ini akan cukup efektif. Mengapa? karena selain akan membawa keuntungan maksimal terhadap masyarakat, konsep syari’at Islam itu sendiri nanti juga akan dapat lebih membumi dan tidak menimbulkan ‘phobia’. Eksesnya nanti setali tiga uang, selain masyarakat bisa makin sejahtera, pemikirannya juga akan terkonstruksi dengan baik untuk dapat menerima perbedaan. Thanks, Bung Yandi. Salam kenal.

3. permata - December 10, 2006

assalamu’alaikum wr. Wb
dari saya yang resah…….karena hidup di negeri Infotainment
infotainment lah yang berjasa menghadirkan seorang AA Gym dan Yahya Zaini dalam pembahasan representasi permasalahan negeri Indonesia.
Saya belumlah menjadi seorang yang taat menjalankan syariat islam, akan tetapi muncul keresahan ketika melihat banyak orang yang memberikan uswah menjalankan syariat islam tetapi melah dicaci maki. Di negeriku Indonesia yang konon kabarnya menghargai dan menjamin pelaksanaan syariat agama sebagai hak asasi setiap warga negara yang beragama, ternyata orang yang bersusah susah memikirkan dan merencanakan untuk membantu sesama dengan dasar syariat islam seperti AA GYM harus dijadikan bahan caci maki seoalh islam ini sumber malapetaka bagi seorang perempuan.Sehingga presiden harus ikut-ikutan mengurusi bahkan mempersiapkan perubahan undang-undang perkawinan untuk membatasi poligamy?
Alhamdulillahnya, ada contoh sebaliknya yakni Yahya Zaini, salah seorang anggota Dewan perwakilan rakyat di jakarta yang terlihat menjijikkan menjalankan praktek Perzinahan. tetapi beritanya hanya lewat begitu saja, sebagaimana banyaknya ABG (anak baru gede) usia sekolah SLTP, SMA, Mahasiswi yang harus melacurkan diri karena biar gaul maupun kemelaratan yang dideritanya. Bukan tiada sebab berita poligamy aa gym dengan perzinahan Yahya Zaini muncul bersamaan.
Semestinya Poligami disikapi bijak dan direnungkan oleh Presiden SBY sebagai solusi yang menenangkan semua pihak. Perempuan yang dipoligami tentunya memiliki pilihan berdasar tata nilai yang diyakininya.Sebagaiman para “aktivis perempuan” yang mengedepankan pilihan subyektifnya menolak poligami tanpa mau melihat dan memikirkan solusi bagi penyakit masyarakat yang sangat meresahkan bernama “perzinahan”. Apakah mereka memberi kontribusi lebih bagi pengentasan kemiskinan sehingga para ABG tidak harus melacurkan diri? bukankah orang-orang yang berpoligami telah berusaha untuk mengentaskan kemiskinan setidaknya memberi bantuan lebih bagi pencapaian kesejahteraan bersama sejauh dilandasi oleh keyakinan menjalankan syariat islam. Dengan mendekatakan diri pada Alloh semestinya manusia kaan mendapatkan ketenangan hidup dan kehidupan di dunia dan akhirat.
Apakah kemudian dengan alasan privasi, pilihan untuk melacurkan diri demi mencari penghidupan harus ditoleransi dengan menyalahkan negara yang tidak kunjung mampu menyejahterakan warganya?.
Apakah Presiden gak mikir, untuk merevisi UU Perkawinan akan butuh banyak biaya guna uang saku para wakil rakyat?
dari saya yang resah…………..
mohon tausyiyah

4. FFWAF - February 1, 2007

ISALM RADIAKL BANGSAT

5. ABAH - April 15, 2007

wah, gerakan tarbiyah, saya masuk ke dalamnya juga sih, kita2 ini ingin syariat islam ditegakkan di indonesia itu tujuannya buat rahmatan lil alamin kok, umat2 agama lain akan kami perlakukan adil se adil2nya, layaknya dulu ada seorang yahudi yang rumahnya ingin digusur namun dibela oleh khalifah,

oh iya, ngomong2 kok gwa mencium komersialisasi syariat di indonesia ya?kayaknya syariat agama telah menjadi industri tersendiri di indonesia….. ck ck ck

6. Abdullah - July 31, 2007

Assalamu’alaikum w.w
langsung aja ya, saya sangat setuju apa yang diungkapkan oleh politisi dari PKS itu, pada dasarnya apapun yang di syari’atkan oleh Islam memerlukan tahapan-tahapan didalam pengaplikasiannya. termasuk mengenai penerapan syari’ah Islam secara global. bagaimana kita bisa menerapkan syari’ah Islam, sementara masih banyak komponen-komponen masyarakat belum terorientasi kesana. memang untuk menegakkan syari’at Islam sering terjadi polemeik seperti halnya kasus telur dengan ayam. namun apapun kepustusan yang diambil pada intinya tidak bisa lepas dari kondisi temporer saat ini yang tentunya harus dipadukan dengan Al-Qur’an, Sunnah, Siroh, pemikiran-pemikiran para ulama bahkan Manhaj itu sendiri.
mengenai isyu gerakan Islam radikal, Islam transnasional ataupun apapun namanya, tentunya kita harus menyikapinya dengan arif dan hati-hati, tapi tidak over didalam menanggapinya. karena pada dasarnya apapun gerakan yang menuju kepada pemurnian keislaman, pembelaan keislaman atau apapun yang berbau Islam, pasti akan mendapat perlawanan, baik dari musuh-musuh Islam ataupun orang-orang yang mengaku muslim tapi phobi dengan Islam. cara yang terbaik untuk menghadpi hal itu adalah menunjukkan akhlaq kita bahwa lebih baik dari mereka, tidak terpancing dengan provokasinya karena mereka didukung oleh lembaga-lembaga atau organisasi yang sudah besar, bahkan ada indikasi organisasi intelegent ikut bermain disana, yang kapan saja bisa “membereskan” semua gerakan-gerakan Islam yang dianggap tidak sesuai dengan “pemikirannya”. bahkan maraknya isyu Islam transnasional juga tidak lepas dari tipu daya mereka. yang jelas selama niat kita ikhlas hanya Allah Ghoyatuna…. apalagi yang ditakutkan ???? yang jelas jangan sampai kebencian kita pada suatu kaum membuat kita berlaku tidak adil…
Wallahua’lam…

7. muhammad vian adhitya - October 11, 2007

memang saatnya islam menjadi dasar dari sebuah negara ini………..
sebenernya apa yang perlu ditakutkan dari pelaksanaan syariat islam…. apakarena adanya hukum potong tangan dan dera bagi pelakunya… saya rasa alasan itu tidak beralasan sama sekali.. ketakutan itu hanyalah sebuah ekspresi dari perasaan ketakutan.. apa yang perlu ditakutkan.. bukankah itu memberi efek jera kepada pelaku dan menjadi pelajaran bagi yang lainnya yang akan terus diingatnya sepanjang hidupnya………

SEMOGA SAJA PERLAHAN TAPI PASTI SAYA INGIN MELIHAT TEGAKNYA SYARIAT ISLAM BERLAKU DI INDONESIA INI SEBELUM TUTUP USIA SAYA… AMIIIINNNNN…..!!!!!

8. Ofyx - October 16, 2007

Wah …. wah … pinter semua …. bingung deh jadinya.

Namun kalo di pikir2 … waktu Indonesia (1945 katanya) berdiri … kemudian pemberlakukan UUD 45 kayaknya ngak pake basa-basi deh …. eh Syariat Islam yang konon katanya kultur budaya bangsa … ntah berapa lama lagi harus di-diskusikan, diseminarkan dan ntah apa lagi namanya … sampe tahapan target dan sasaranya ngak jelas.

Anehnya … Rancangan (UU, Perda dan lain-lain) ngak harus nunggu2 tuh …. walah-walah ….. kacian Syariat Islam kok mesti nunggu ini dan itu …… Ingat sejarah Bung ….// …..

9. minoritas - October 27, 2007

Sedih……, mendengar dan melihat penikmat kemerdekaan yang bahkan nggak pernah merasakan pahitnya membangun bangsa, tapi kini berlagak jadi pemilik bangsa….. Menganggap diri mereka jadi ahli waris yang paling pantas untuk mengobrak-abrik tatanan bangsa yang dibangun demikian berat oleh orang-orang yang menyiapkan tubuh, pikiran dan nyawa mereka untuk menghadang peluru-peluru bangsa asing…ketika negara ini baru akan lahir….

Sedih, melihat dan mendengar orang-orang tamak penghargaan di negeri ini yang merasa dirinya golongan terbaik, sehingga merasa harus mengubah semua komponen dan tatanan negara ini dan memodifikasi mengikuti ketamakan mereka yang tak habis-habis….

Tidak-kah kalian merasa bahwa islam telah begitu merajalela di negara tercinta ini….? Bukankah semua proses birokrasi, tatanan civil society, dan tetek bengek lainnya sudah begitu meng-anak-emaskan kalian….?

Kepongahan kalian sebagai “kaum mayoritas” telah mendidik kalian menjadi orang-orang arogan dan munafik…..
Saat bencana datang, saat musuh mengancam, kalian berteriak-teriak…ayo bersatulah bangsaku…dari semua suku…dari semua agama…kita jaga negara tercinta ini…!!!! Tapi ketika kalian merasa tenang…diam-diam merencanakan gerakan-gerakan yang bahkan menghancurkan negara sendiri……

Kami telah mengalah dalam berbagai segi, dalam berbagai lini…nrimo demi kebaikan kita…atau karena telinga kami terlalu kecil untuk mendengar ocehan-ocehan mulut besar kalian selama ini…..mau apa lagi?????

Kami hanya berdoa, bahwa suatu masa dalam hidup kalian, walau hanya sesaat, Tuhan memberi kesempatan kepada kalian berada di pihak minoritas……bukan untuk kami…tapi untuk mengajarkan kepada kalian bagaimana rasanya……….(kalian boleh mencibir dan menantang rasa itu sebelum ia benar-benar menghimpit badan, hati dan perasaan kalian)

Lakukanlah semua yang kalian anggap benar dan manusiawi “kalau memang kalian manusia”………….dan kami hanya akan meminta perlindungan dari Tuhan, karena kami sudah terbiasa dengan keadaan ini….

Berteriaklah kalian selantang-lantangnya….karena memang itulah keahlian yang paling kalian banggakan, mungkin tuhan kalian akan senang mendengar gemanya dari surga……dan menjadikan kalian penghuni-penghuni surga……”jika itu adalah segalanya”

10. Tangkal Islam Radikal - February 13, 2008

Byk kejadian sudah penindasan Kaum minoritas oleh mayoritas,konyol!!
ini negara demokrasi bukan Negara Islam,,
apakah agama adalah sesuatu yang patut dibandingkan??
apakah semua agama sama??
apakah ‘anda’ mau mengikuti peraturan dri suatu agama lain??
apakah anda sudah suci dan pantas untuk berbicara ,berkomentar berlebihan,apalagi mengatur2 tentang kepercayaan dan peraturan keagamaan…

11. AULIYARAHMAN - April 8, 2008

keep going with our holy dream…just do what can you do..don’t do something that you can’t do it…if you force it,there will something damaged by you..make your self good,and the other’s will support to be good as you will and as you are..realize what suppose to be..don’t ever have a dream to pick the star’s up there if you can’t reach your own head….

12. Pra - April 30, 2008

Assalamu’alaikum

Saya terus terang tidak setuju negara ini dipimpin organisasi macam PKS. Di Indonesia banyak ormas Islam, bahkan ada yang sudah berusia tua dan turut membidani kelahiran republik ini. Jika akan diterapkan syariat Islam, keputusan-keputusan di negara ini harus didasarkan pada musyawarah tokoh-tokoh Islam dan ulama yang mewakili seluruh umat Islam. Jadi tidak kebenaran dimiliki oleh satu partai/kelompok/pemikiran saja. Jika ada perwakilan dari semua ormas seperti ini maka umat akan ridho, karena tidak semua muslim simpatisan PKS. PKS hanya partai. Tidak lebih dan bukan agama. Ada yang berbicara tentang pemurnian Islam, apakah islam di Indonesia tidak murni? Jadi bagaimana Islam yang murni?versi PKS yang suka ber ana antum, ikhwan, akhwat, syukron, afwan jiddan dll? Jika yang anda maksud adalah mengenai tahlilan, kenduri dll, apakah anda menganggap hal tersebut tidak Islami? Kenapa harus saklek klek? Terus apakah budaya Islam itu hanya nasyid saja?Bagaimana dengan qosidah, gambus, keroncong, atau gamelan?Apakah tidak Islami?Apakah orang yang main gamelan dianggap tidak Islami?Hanya pelantun nasyid saja yang dianggap Islami? Nasyid kan baru muncul belakangan ini bersamaan dengan maraknya PKS. Jaman saya kecil dulu nggak ada, adanya qasidah dll. Islam, jika menurut saya adalah milik semua budaya, tidak hanya budaya Arab saja. Setiap budaya bangsa-bangsa di dunia ini pasti ada yang sesuai nilai-nilai Islam, ada juga budaya yang rusak. Budaya yang Islami ini bisa tetap dipertahankan, sedangkan yang rusak dibuang jauh-jauh. Saudara harus ingat, banyak keragaman umat Islam di Indonesia, jangan anda coba untuk memaksakan satu fikrah Anda di Indonesia. Selama perbedaan itu bukan masalah tauhid. Mengenai masalah poligami, memang bagian dari Islam. Itu adalah solusi islam dengan membolehkan poligami. Jadi hukumnya bukan wajib atau sunnah, dan jangan disunnahkan atau bahkan diwajibkan. Sebagaimana perceraian, ini juga solusi Islam, tetapi apakah ada orang yang suka dengan perceraian atau mengharap perceraian?Nggak ada. Lalu apakah orang yang seperti ini dianggap menentang syariah terus ditakfirkan? Begitu pula dengan poligami, pasti mayoritas wanita tidak ingin dipoligami, tetapi bisa saja poligami ini terjadi, tentu dengan syarat adil. Maka itu solusi penerapannya di masyarakat harus dimusyawarahkan dengan berbagai tokoh islam, tokoh ormas, dan ulama-ulama yang ada di Indonesia. Jadi bisa dicari jalan yang terbaik dan bijak. Sebaiknya poligami itu ada di ranah pribadi/keluarga saja. Tinggal di UU pernikahan dimasukkan pembolehan poligami saja. Sebaiknya jika ingin poligami secara resmi ya sepengetahuan istri(dibedakan dengan seizin istri). Karena pada dasarnya pernikahan kan melindungi hak-hak istri/suami.

13. Taqwiem - April 3, 2012

Assalamu alaikum wahai saudaraku
Pada prinsipnya saya senang mendengar, membaca, dan memperhatiakan pemikiran pemikiran saudara2 sy yg telah dijabarkan lewat tanggapan diatas. Ada sebuah dinamika dalam menilai sebuah pergerakan da’wah yg sy kira itu hal yg lumrah dan biasa . Itulah sebuah keragaman yg mau tidak mau harus kita terima sebagai realita . Harapannya dari sebuah dinamika pemikiran ini akan menjadi pemacu kita untuk berfikir yg lebih arif, agresif, inovatif untuk berbuat yg lebih baik dalam berda’wah. Dalam artian punya bobot tarbiah yg mumpuni wal hasil ada sebuah kesadaran dalam individu maupun kelompok masyarakat bahwa ber Islam dgn kaafah adalah sebuah kebutuhan. Pemikiran berda’wah perlu strategis ,dan siasah yg terorganisir dalam satu wadah adalah sangat relewan dengan kondisi saat ini dan nanti. Sy setuju dgn pemikiran itu . Namun karena da’wah cakupannya sangat luas kemasan atau wadah yg terorganisir dimaksud tidak harus sebuah partai politik. Kita titip kpada seluruh kaum muslimin secara individu maupun kelompok punya kesadaran untuk da’wah. Dan kerja da’wah seluruh komponen tersebut kita hargai sehingga tidak satupun individu maupun kelompok yg boleh menepuk dada bahwa kelompok saya yg paling berhasil ngumpulin orng dalam berda’wah. Kita sering tertipu dgn sebuah keberhasilan dilihat dari banyaknya org yg dikumpulkan dan di ceramahi. Jika ini dijadikan ukuran maka da’wah sama dengan pilkada. Sy sependapat bahwa negara ini sangat perlu dipegang oleh pemimpin yg amanah. Ketika berbiicara pemimpin yg amanah bisa saja pemimpin tersebut dari kalangan org politik maupun non politik. Maka menjadi hal yang tidak berdasar sama sekali jika yg dimaksud pemimipin yang amanah adalah dari partai tertentu apa lagi di sebut partainya. Karena tidak mustahil sebuah partai yg kita anggap paling bersih atau mereka merasa partai yg paling bersih sekalipun mungkin ada kadernya yang nonton vidio porno pada saat sidang memperjuangkan kepentingan rakyat. Ini bukti bahwa dari manapun kelompok kita atau partai kita jgn buru-buru mengklaim memiliki sebuah keberhasilan da’wah dan menafikan kelompok lain. Kalo toh ada org bijak yg mumpuni dia layak memimpin negara karena org tersebut memilki integritas muttaqin kenapa tidak? kendatipun dia bukan org partai politik. Jika ada aturan yang menghambat karena org tersebut bukan org parpol maka itulah harga yang harus dibayar dalam berdemokrasi. Tentu ini tidak sesuai dengan bahasan kita tentang syariat. Banyak pertanyaan yg muncul dan tidak mudah untuk dijawab. Bagaimana Jika org tersebut sangat tidak layak unutk memimpin negara tapi mayoritas rakyat menghendaki dan dalam sebuah demokrasi dia harus diangkat sebagai pemimipin karena dipilih suara mayoritas?. Jawabannya itulah harga yg harus dibayar dalam sebuah demokrasi. Sesuaikah hal ini dgn syariat dalam memilih pemimpin? Bagaimana dgn anjuran Nabi Muhammad SAW dalam memeilih pemimipin? Betulkah dgn cara kampanye seperti saat ini ? Atau dengan cara demokrasi seperti saat ini? Apakah ini cukup di jawab dengan kata “Tahapan”. Betulkah dalam melaksanakan Tahapan kita ikut larut dalam permainan dan sistem demokrasi. Jika jawabannya “sy akan masuk dalam sistem tersebut tapi sambil berda’wah” maka itu oke oke saja, tapi ketika kita berbicara syariat maka akan menjadi blunder seperti benang kusut. Karena memperjuangkan syari’at tapi dgn cara menabrak syariat itu sendiri.
Wallahu a’lam


Leave a comment